TAFSIR SURAT AT-TIIN
disusun
oleh
Nama              : Ayu Eka Sari    (01)
Ekky Oktafianto       (15)
Renita Aldea MA      (19)
Ruhil Novia Ayu       (20)
Teguh Pambudi         (36)
SMP NEGERI I
KARANGJATI
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita semua sehingga
pembuatan makalah ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam
kita persembahkan kepada junjungan kita Muhammad SAW, oleh karena beliaulah
kita dapat mengenal ilmu pengetahuan dan memberantas kebodohan.
Selanjutnya ucapan terima
kasih dan penghargaan pemakalah sampaikan kepada pembimbing kita Bapak dan
kepada seluruh sahabat-sahabat seperjuangan yang telah memabntu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari
berbagai kelemahan, kekurangan dan keterbatasan yang ada, sehingga tetap
terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kekurangan disana sini dalam
penulisan dan penyajian makalah ini. Oleh Karena itu, dengan tangan terbuka,
seraya kasih, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari para pembaca dalam rangka penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, kepada Allah
jualah penulis menyerahkan diri dan memohon taufik hidayah-Nya, semoga makalah
ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
Karangjati,       November 2012
Penulis
 
DAFTAR ISI
                                                                                          
KATA
PENGANTAR............................................................................        i
DAFTAR
ISI..........................................................................................        ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.    Latar
Belakang............................................................................        1
B.     Tujuan..........................................................................................       1
C.     Rumusan
Masalah.......................................................................        1
BAB
II PEMBAHASAN
A.    Penafsiran
Surat At-Tiin.............................................................        2
BAB
III PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................ 8
B.     Saran.................................................................................................. 8
DAFTAR
PUSATAKA...................................................................              9
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar
Belakang
Semua surat dalam
Al-Quran dapat dipastikan bahwa memiliki makna dan penafsiran yang sangatlah
luas, karena memang Al-Quran merupakan petunjuk bagi sekalian manusia untuk
berbekal ke negeri akhirat. Begitu juga dengan surat tiin yang terdapat
didalamnya penjelasan tentang manusia, lantas apakah yang telah Allah berikan
kepada manusia? Untuk menjawab pertanyaan diatas, surat At-Tiin memberi
penjelasan tentang manusia serta penafsirannya menjelaskan fungsi manusia
dialam dunia ini.
Banyak penafsiran yang
menjelaskan makna dari ayat-ayat surat At-Tiin. Namun pada intinya memiliki
maksud yang sama. Maka dari itu penulis ingin menjelaskan pemahaman dari
tafsiran Surat At-tiin yang telah ditafsirkan oleh Ulama-ulama dan diabadikan
dalam buku-buku dan kitab-kitab pelajaran dan umum.
B.     Tujuan
Sesuai dengan latar
belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini supaya kita bisa mengambil
pengetahuan dan pesan-pesan yang terkandung dalam tafsiran surat At-Tiin
sebagai pelajaran untuk kita amalkan.
C.     Rumusan
Masalah
1.      Bagaimana
Tafsiran Surat At-Tiin?
 
BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR SURAT AT TIIN
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَالتِّينِ
وَالزَّيْتُونِ {1} وَطُورِ سِينِينَ {2} وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ {3} لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ {4} ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ
سَافِلِينَ {5} إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ
أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ {6} فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ {7} أَلَيْسَ
اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ {8}
(1) Demi (buah) Tin
dan (buah) Zaitun.
(2) Dan demi Bukit Sinai.
(3) Dan demi kota (Mekkah) ini yang aman.
(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.
(5) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
(6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
(7) Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah
(adanya keterangan-keterangan) itu?
(8) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Surat yang mulia ini adalah makkiyah[1]. 
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ
{1}
Artinya:   Demi (buah)
Tin dan (buah) Zaitun.
Pada ayat pertama surat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan At Tin dan Az Zaitun.
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan At Tin dan Az Zaitun[2], namun tidak ada satupun
pendapat mereka yang berdasar pada dalil yang shahih,
kecuali pendapat yang mengatakan bahwa At Tin adalah buah At Tin yang
(sudah dikenal dan) biasa dimakan, dan Az Zaitun adalah
(juga) buah Az Zaitun yang biasa diperas darinya minyak Zaitun[3].  
وَطُورِ
سِينِينَ {2}
Artinya: “Dan demi Bukit Sinai.”
Pada ayat ini Allah Subhanahu
wa Ta’ala bersumpah denganThuur Siiniin, yaitu sebuah bukit
yang padanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada
Musa ‘alaihissalam[4]. 
وَهَذَا
الْبَلَدِ الْأَمِينِ {3}
Artinya: “Dan demi kota (Mekkah) ini
yang aman.”
Berikutnya Allah
bersumpah dengan Al Balad Al Amin, yaitu Makkah.[5] Lalu, mengapa Allah Subhanahu
wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Para ulama tafsir
menerangkan sebab-sebabnya yang diantaranya; karena kedua tumbuhan tersebut (At
Tin dan Az Zaitun) banyak mengandung manfaat, baik pada
pohonnya maupun buahnya, dan karena keduanya sangat tumbuh subur dan baik di
Syam, yang merupakan tempat diutusnya Nabi Isa ‘alaihissalam menjadi
seorang rasul. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
dengan sebuah bukit, karena di tempat itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara
kepada Nabi Musa dan mengutusnya menjadi seorang rasul. Adapun mengapa Allah
bersumpah dengan Al Balad Al Amin? Itu karena Mekkah adalah sebuah
negeri yang aman bagi orang memasukinya, juga karena di tempat itulah
Rasulullah Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi
seorang rasul. dari sini, jelaslah mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
dengan hal-hal tersebut? Itu karena ketiga tempat tersebut adalah tempat-tempat
yang disucikan yang Ia pilih, dan telah diutus padanya rasul-rasulNya yang
paling mulia[6]. 
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ {4}
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Ayat berikutnya adalah
jawaban dari sumpahNya terhadap hal-hal tadi, bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk dan sifat yang
sebaik-baiknya, dengan seluruh anggota tubuh yang seimbang, sempurna, dan tidak
kekurangan suatu apapun. Dan semuanya itu menunjukkan atas kekuasaan Allah yang
mutlak atas penciptaan dan pengembalian manusia pada hari kebangkitan[7]. 
               Allah  swt.  dalam  ayat  ini
menegaskan secara eksplisit bahwa manusia itu diciptakan  dalam  bentuk  yang  paling sempurna. Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang
pakar  bahasa  Al Quran menyebutkan bahwa kata 'taqwiim' pada ayat
ini merupakan isarat   tentang   keistimewaan  manusia   dibanding   binatang,  yaitu  dengan
dikaruniainya  akal, pemahaman,  dan  bentuk  fisik  yang tegak dan lurus. Jadi 'ahsani taqwiim' berarti bentuk fisik dan
psikis yang sebaik-baiknya. Kalau  kita cermati  lebih  jauh,  sesungguhnya kesempurnaan manusia bukan hanya sekedar pada bentuk
fisik dan psikisnya saja, kedudukan manusia di antara makhluk  Allah  lainnya  pun  menempati  peringkat tertinggi, melebihi kedudukan malaikat, "Dan  sesungguhnya  Kami  telah memuliakan  anak Adam (manusia) dan Kami angkut mereka  di darat  dan  di
laut, dan Kami melebihkan mereka atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan,
dengan kelebihan yang menonjol."(Q.S.
Al Isra 17:70) Pada  prinsipnya,
malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman dan  taat  kepada  Allah  swt.,  ia  bisa melebihi kemuliaan para malaikat. Ada
beberapa   alasan  yang mendukung  pernyataan  tersebut.  Pertama,  Allah  swt. memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Adam
a.s. Saat awal penciptaan  manusia  Allah berfirman, "Dan ingatlah ketika Kami
berfirman kepada para  Malaikat,
"Sujudlah kamu kepada Adam",
maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia  enggan  dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir." (Q.S. Al
Baqarah 2:34) Kedua, malaikat  tidak  bisa  menjawab  pertanyaan  Allah  tentang al asma (nama-nama  ilmu  pengetahuan),  sedangkan  Adam a.s. mampu karena memang diberi ilmu  oleh  Allah  swt.,  "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya,
kemudian  mengemukakannya kepada  para  malaikat,  lalu berfirman, " Sebutkanlah kepada-Ku nama  benda-benda  itu  jika  kamu memang golongan yang benar. Mereka
menjawab,  "Maha  Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa
yang telah Engkau  ajarkan  kepada  kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana."  Allah  berfirman,  "Hai  Adam,  beritahukanlah  kepada
mereka nama-nama  benda  ini."  Maka  setelah  diberitahukannya kepada mereka nama-nama
benda   itu,   Allah   berfirman,  "Bukankah sudah  Kukatakan  kepadamu,  bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang
kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (Q.S. Al Baqarah 2:31-32). Ketiga,  kepatuhan malaikat kepada Allah swt. karena sudah
tabiatnya, sebab malaikat  tidak
memiliki hawa nafsu; sedangkan kepatuhan manusia pada Allah swt. melalui
perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan setan. Keempat,  manusia  diberi tugas  oleh
Allah menjadi khalifah di muka bumi, "Ingatlah  ketika Tuhanmu  berfirman  kepada  para  malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak  menjadikan seorang khalifah di muka bumi..." (Q.S. Al Baqarah 2:30).
               Mencermati  analisis  di  atas,  bisa  disimpulkan  betapa
Allah swt. Telah memberikan  kemuliaan yang begitu tinggi pada
manusia, bukan hanya yang bersifat fisik  dan  psikis, tapi
juga dari segi kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak
mampu  mengemban amanah yang begitu besar, derajatnya akan turun ke
tingkat yang paling hina,  bahkan  bisa  lebih  hina  dari  binatang  sekalipun,
sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ
رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ {5} إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ {6}
Artinya: “Kemudian Kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya.  Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”
Pada ayat pertama dari kedua ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’alamenerangkan tentang keadaan kebanyakan manusia yang kufur terhadap
nikmat yang telah Ia berikan kepadanya berupa bentuk fisik yang sempurna dan
baik. Maka sudah sewajibnya seorang manusia bersyukur atas nikmat ini, namun
justru kebanyakan manusia lalai dan lupa terhadap penciptanya yang telah
memberikan kenikmatan-kenikmatan yang tak terbilang, mereka sibuk dengan
bermain-main dan hal-hal yang melalaikan mereka. Mereka ridha dengan
perkara-perkara rendah dan akhlak-akhlak buruk yang merusak diri mereka sendiri.
Akhirnya Allah pun mengembalikan mereka ke dalam neraka yang paling bawah,
tempatnya ahli maksiat yang membangkang dan menentang perintah-perintah Allah.
Kecuali orang orang yang beriman, yang telah diberikan oleh Rabb mereka
keutamaan berupa keimanan, amal  yang shalih,
dan akhlak yang tinggi dan mulia. Maka bagi mereka derajat yang tinggi di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan pahala dariNya yang tiada henti-hentinya terus
mengalir kepada mereka dan tanpa terputus. Bahkan mereka terus mendapatkan kelezatan
kelezatan yang terus-menerus, kebahagiaan yang tiada habis-habisnya, dan
kenikmatan kenikmatan tak terhingga yang abadi dan kekal selama-lamanya[8]. 
Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
فَمَا
يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ {7}
“Maka apakah yang menyebabkan kamu
mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?”
Pada ayat ini Allah Subhanahu
wa Ta’ala bertanya dan menegaskan kembali kepada manusia yang telah
diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, sempurna dan utuh tanpa kekurangan suatu
apapun, namun di antara manusia masih ada yang kufur terhadap
nikmat nikmatRabbnya dan ingkar terhadap hari pembalasan,”Apa yang
membuatmu dan menyebabkanmu wahai anak Adam mendustakan dan mengingkari hari
pembalasan terhadap seluruh amal perbuatan, padahal kamu telah mengetahui
kekuasaan Rabbmu yang mampu menciptakanmu dengan baik dan sempurna?
Bukankah Ia yang telah menciptakanmu jauh lebih mampu untuk menghidupkanmu
kembali dan membalas amal-amalmu? Apa yang membuatmu mendustakan semua ini
sedangkan kamu mengetahui kebenarannya?[9] 
Dan di akhir surat At Tiin ini Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
أَلَيْسَ
اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ {8}
Artinya: “Bukankah Allah Hakim yang
seadil-adilnya?”
Allah Subhanahu
wa Ta’ala kembali bertanya
dalam ayat ini yang maknanya, “Apakah adil dan sesuai dengan hikmahNya jika Ia
menciptakan makhlukNya untuk kemudian dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja
tanpa diperintah dan dilarang, dan tanpa diberikan balasan baik ataupun buruk?
Ataukah sesuai keadilan dan hikmahNya itu, jika Ia Yang Maha Pencipta dengan
tahapan demi tahapan penciptaan, kemudian Ia memberikan seluruh
nikmat-nikmatNya yang tiada terbilang, lalu membimbing mereka dengan bimbingan
yang baik dan bijaksana, dan akhirnya Ia mengembalikan mereka kepada tujuan dan
inti kehidupan mereka, yaitu akhirat yang kepadanyalah  orang-orang
beriman menuju?”[10] 
Ada sebuah hadits yang
erat kaitannya dengan ayat terakhir ini. Yang mungkin hadits ini
dijadikan hujjah oleh sebagian mereka yang beranggapan
akan sunnahnya hukum membaca lafazh (بَلَى، وَأَنَا عَلَى
ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ), atau lafazh (سُبْحَانَكَ فَبَلَى)
tatkala seseorang membaca surat At Tiin ini sampai pada
penghujung ayatnya.
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, At
Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu , beliau berkata[11]: 
مَنْ
قَرَأَ : وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ  ، فَقَرَأَ : أَلَيْسَ اللهُ
بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ ، فَلْيَقُلْ : بَلَى ، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ
الشَّاهِدِيْنَ .
“Barangsiapa yang membaca ‘Wat
tiini waz Zaituun’ sampai ia membaca ‘Alaisallaahu bi Ahkamil
Haakimiin’ ; maka hendaknya ia mengucapkan: ‘Balaa Wa Ana ‘Alaa
Dzaalika minasy Syaahidiin’(Ya, dan aku atas hal itu termasuk orang-orang yang
bersaksi).”
Namun hadits ini dha’if,
sebagaimana yang telah dihukumi oleh Asy Syaikh Al Albani[12], disebabkan pada sanadnya
terdapat perawi (dan ia bukan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam -pen) yang mubham. 
 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
·         Ayat
1,2, dan 3 Allah Swt bersumpah yang tujuannya ialah untuk memberi suatu
pandangan lebih oleh manusia terhadap ma’sum(yang menerima sumpah).
·         Pada
ayat 4,5, dan 6 Allah menjelaskan kodrat manusia yang Allah ciptakan serta
balasan bagi manusia yang beramal; baik amal baik maupun buruk pasti akan
menerima balasan.
·         Ayat
ke 7 dan 8 Allah menanyakan penyebab manusia yang menentang hukum dan kekuasaan
Allah.
B.     Saran
Sebagai
makhluk Allah yang lemah dan sempurna sudah semestinya untuk taat dan patuh
terhadapa hukum Allah; dan Allah lah yang kuasa lagi bijaksana untuk menentukan
semua pembalasan di mahkamah Allah atas apa yang manusia yang dikerjakan dibumi
yang fana ini. Semoga kita dapat tergolong kedalam orang-orang yang Shalih.
Amiin
ya Rabbal ‘Alamin...
Waallahu’alam...
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Quran dan terjemahnya, cet Mujamma’
Malik Fahd, Saudi Arabia.
Sunan Abu Daud, Abu Daud Sulaiman bin Al
Asy’ats As Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar
Al Fikr.
Tafsir Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Ath Thabari (224-310 H), tahqiq Mahmud Syakir, Daar Ihya At Turats,
Beirut, cet I th 1421 H/ 2001 M.
Tafsir Al Qurthubi (Al Jami’ Li Ahkamil
Qur’an), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, tahqiq Abdur Razzaq Al
Mahdi, Daar Al Kitab Al ‘Arabi, cet II, th 1421 H/1999 M.
Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al
‘Azhim), Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), tahqiq Sami bin
Muhammad AS Salamah, Daar Ath Thayyibah, Riyadh, cet I, th 1422 H/2002 M.
Taisir Karim Ar Rahman fi Tafsiri Kalami Al
Mannan, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla Al
Luwaihiq, Daar As Salam, cet I, th 1422 H/2001 M.
Dha’if Sunan Abi Daud, Muhammad Nashiruddin
Al Albani (1332-1420 H).